MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”
MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA
“PENGATURAN TENTANG
PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”
OLEH
UNIVERSAL COMMUNITY
Kata Pengantar
Puji syukur kami pajatkan
kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga
penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak
lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang
telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga
penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan
materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang
materi dari mata kuliah yang diajarkan
Kami selaku
penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat
banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat.
Oleh karena itu, penulis selalu membuka diri untuk menerima saran dan masukan
yang membangun guna perbaikan dalam hal penulisan maupun pemahaman materi untuk
kedepannya nanti.
Penulis
Daftar Isi
Halaman
Judul....................................................................................................................... 1
Kata
Pengantar....................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang........................................................................................................... 4
2. Rumusan
Masalah...................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Percobaan
(Poeging) Di Indonesia............................................................................ 6
B. Percobaan
(Poeging) Di Thailand.............................................................................. 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................ 10
B. Saran.......................................................................................................................... 10
Daftar
Pustaka....................................................................................................................... 11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Salah satu bagian hukum
yang penting untuk dikaji dan dipahami secara mendalam adalah hukum pidana. Hal
ini dikarenakan salah satu inti dari hukum itu sendiri adalah bagaimana negara
dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan-perbuatan
yang tidak boleh dilakukan serta bagaimana memberikan sanksi terhadap
dilakukannya perbuatan yang melanggar aturan tersebut. Semua hal ini diatur
dalam hukum pidana. Dalam ranah akademis hal yang semacam itu dipelajari dalam
ilmu hukum pidana. Akan tetapi ranah hukum pidana tidak sesederhana itu, baik
dalam ilmu yang dipelajari maupun dalam aturan yang telah dituangkan dalam
undang-undang, hukum pidana membahas secara rinci segala hal yang berkaitan
dengan hukum pidana tersebut.
Selain
menentukan segala bentuk perbuatan yang dilarang, hukum pidana juga membahas
tentang subjek yang melakukan perbuatan pidana dan cara-cara subjek tersebut
dalam melakukan perbuatan pidana yang bisa dalam bentuk percobaan, penyertaan,
perbarengan dan pengulangan perbuatan pidana. Dalam tulisan ini nantinya hanya
akan fokus dalam salah satu bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang
yakni mengenai percobaan melakukan tindak pidana.
Percobaan
untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu
kejahatan yang telah di mulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu
kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah di wujudkan
di dalam suatu permulaan pelaksanaan. Percobaan seperti yang di atur dalam KUHP
yang berlaku saat ini menentukan , bahwa yang dapat di pidana adalah
seorang yang melakukan percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan
terhadap delik pelanggaran tidak di pidana, hanya saja pecobaan pelanggaran
terhadap ketentuan ketentuan pidana khusus dapat juga di hukum. Penjelasan
mengenai percobaan akan penulis jelaskan dalam bagian pembahasan makalah ini.
Dalam
perkembangan ilmu hukum pidana untuk mencapai perbaikan-perbaikan disegala
aspek yang berkaitan dengan hukum pidana maka mengingat hukum pidana dalam hal
ini Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah kitab
undang-undang yang merupakan warisan dari pemerintahan kolonial Belanda yang
dimana saat ini ada banyak hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
bangsa Indonesia oleh karena itu diperlukan suatu perubahan hukum dalam rangka
mewujudkan suatu hukum yang sesuai dengan nilai dan kondisi bangsa kita. Untuk
mencapai hal tersebut maka salah satu cara yang dilakukan oleh semua pihak baik
itu aparat negara maupun oleh akademisi adalah melakukan studi hukum-hukum luar
negeri untuk membandingkan dengan hukum Indonesia dengan maksud apabila hukum
yang diteliti tersebut baik dan sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia maka
bisa dijadikan salah satu pertimbangan untuk perbaikan hukum di Indonesia.
Berkaitan
dengan hal itu, sebagaimana yang telah diungkapkan di atas maka dalam tulisan
ini akan membahas mengenai perbandingan percobaan (poeging) yang ada dan telah
diatur di Indonesia dengan percobaan melakukan tindak pidana yang ada di luar negeri
khususnya pengaturan tentang percobaan (poeging) yang ada di negara Thailand.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
:
A. Bagaimana
pengaturan tentang percobaan (poeging) di Indonesia?
B. Bagaimana
pengaturan tentang percobaan (poeging) di Thailand?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Percobaan
(Poeging) Di Indonesia
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu
tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Masalah percobaan melakukan tindak pidana
di Indonesia diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP. Akan tetapi terkait
dengan batasan pengertian dari percobaan itu sendiri tidak dijelaskan
batas-batasnnya hanya disebutkan unsur-unsur dari percobaan yang bisa dikatakan
menjadi syarat dalam melakukan tindak pidana yang terdapat pada Pasal 53 KUHP
yang dimana unsur-unsur tersebut terdiri dari adanya niat
untuk berbuat kejahatan, sudah dimulainya perbuatan kejahatan itu, dan perbuatan
kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, bukan karena kehendaknya sendiri.
Untuk mengetahui secara menyeluruh mengenai ketentuan percobaan di
Indonesia maka kita harus melihat dan menganalisis Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP
tersebut. Adapun bunyi dari Pasal 53 KUHP sebagai berikut :
(1).
Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan,
dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena
kehendaknya sendiri.
(2).
Maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dalam percobaan dikurangi sepertiga.
(3).
Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
(4).
Pidana tambahan bagi percobaan sama
dengan kejahatan selesai.
Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut terdiri dari adanya niat/kehendak dari pelaku, adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu, pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendak dari pelaku. Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga syarat tersebut.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana bunyi Pasal 54 KUHP yang merupakan bagian dari aturan mengenai percobaan. Pasal 54 mengatakan bahwa mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pelaku percobaan hanya dapat dijatuhi pidana jika perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai kejehatan, sedangkan apabila perbuatan pidana yang coba dilakukan dikategorikan sebagai pelanggaran maka pelakunya tidak dipidana. Dengan kata lain mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Berdasarkan substansi ketentuan Pasal 53 dan 54 KUHP di atas, terdapat dua hal yang perlu dikemukakan di sini, yaitu :[1]
1. Pada
prinsipnya mencoba melakukan suatu tindak pidana adalah perbuatan terlarang dan
bagi pelakunya dapat dikenai sanksi pidana, walaupun pengenaan pidananya tidak
sampai batas maksimum sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal hukum yang
dilanggar, tapi dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman sanksi pidana.
2. Yang
dapat dikenakan pidana hanya percobaan melakukan kejahatan, sedangkan percobaan
melakukan pelanggaran tidak dipidana.
Moeljatno memberikan pandangan mengenai
percobaan melakukan perbuatan pidana, beliau mengatakan bahwa percobaan
itu merupakan delik selesai dan berdiri
sendiri. Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh beliau :[2]
1. Sebagai
konsekuensi dianutnya pemikiran yang memisahkan secara tegas antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka timbulnya kemungkinan untuk dipidana
adalah karena telah melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana.
2. Perbuatan
percobaan dalam KUHP beberapa kali dirumuskan sebagai delik selesai dan berdiri
sendiri. Contohnya delik makar yang diatur di dalam Pasal 104, 106, dan 107
KUHP. Walaupun pada hakikatnya delik-delik itu belum dilakukan oleh terdakwa
atau belum terlaksana, namun KUHP menganggap hal itu sebagai delik selesai dan
berdiri sendiri.
3. Dalam
hukum adat tidak dikenal delik yang dirumuskan sebagai delik percobaan dari
suatu kejahatan tertentu. Perbuatan-perbuatan yang secara jelas dan secara
nyata merupakan bagian dari pelaksanaan yang tertentu diberi kualifikasi tersendiri
dan tidak dipandang sebagai perbuatan percobaan dari suatu perbuatan tertentu.
B.
Percobaan
(Poeging) Di Thailand
Dalam ketentuan
hukum pidana di Thailand aturan mengenai percobaan dalam melakukan tindak
pidana dapat ditemukan dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 82 Buku I mengenai
Ketentuan-Ketentuan Umum. Dapat dipidananya percobaan harus memenuhi beberapa
syarat atau unsur yang telah dirumuskan dalam Pasal 80 yang berbunyi :
·
Sub 1 mengatakan bahwa “dikatakan
melakukan percobaan tindak pidana, barang siapa mulai melakukan suatu tindak
pidana, tetapi tidak menyelesaikannya, atau melaksanakan/menyelesaikannya
tetapi tidak mencapai hasil/tujuannya”.
·
Sub 2 mengatakan bahwa
“barang siapa mencoba melakukan tindak pidana akan dipidana dua pertiga dari
ancaman pidana yang ditetapkan untuk tindak pidana yang bersangkutan”.
Dari
rumusan tersebut dapat dilihat bahwa unsur-unsur percobaan tindak pidana
menurut KUHP Thailand terdiri dari :
1. Telah mulai
melakukan suatu tindak pidana (jadi telah ada permulaan pelaksanaan).
2. Tetapi
pelaksanaan itu:
a)
Tidak diselesaikannya, atau
b)
Hasil/akibat tujuannya tidak
tercapai.
Menarik
untuk diperhatikan bahwa dalam KUHP Thailand digunakan istilah percobaan untuk
melakukan tindak pidana (to attempt to
commi an offence). Jadi tidak digunakan istilah “percobaan melakukan
kejahatan dan pelanggaran, tetapi hanya menggunakan istilah specific offences dalam BukuII petty offences dalam Buku III.[3]
Dalam perumusan percobaan yang terdapat dalam KUHP Thailand tidak memasukkan
secara tegas adanya unsur niat dan pelaksanaan tidak selesai bukan karena
kehendak sendiri seperti halnya dalam Pasal 53 KUHP Indonesia.
Apabila
suatu percobaan tindak pidana berakhir yang disebabkan oleh suatu percobaan
tindak pidana yang tidak mampu maka dalam KUHP Thailand diatur dalam Pasal 80
yang menyatakan bahwa “barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang ditujukan
pada akibat yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai suatu tindak pidana,
akan dianggap melakukan percobaan tindak pidana apabila perbuatannya itu secara
pasti tidak mampu mencapai tujuannya, baik karena faktor-faktor/alat yang
digunakan dalam perbuatan itu maupun karena obyekyang dituju, dan akan
dikenakan pidana tidak lebih dari separuh ancaman pidana yang ditetapkan untuk
tidak pidana yang bersangkutan”.
Berdasarkan
rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa apabila seseorang sudah mempunyai
niat/tujuan untuk melakukan suatu tindak pidana akan tetapi perbuatan itu tidak
bisa selesai oleh karena percobaan tersebut tidak mampu maka hal tersebut tetap
dipidana separuh dari ancaman pidana untuk untuk tidak pidana yang
bersangkutan.
Mengenai
terhentinya suatu pelaksanaan tindak pidana berdasarkan atas kehendak sendiri
atau mengundurkan diri dari perbuatannya secara suka rela dalam KUHP Thailand
diatur dalam Pasal 82 yang berbunyi “barangsiapa mencoba melakukan tindak
pidana, tetapi atas kehendak sendiri menghentikan pelaksanaannya, atau mengubah
niatnya dan mencegah perbuatan itu mencapai tujuan/hasilnya, tidak dipidana
karena melakukan percobaan tindak pidana itu. Tetapi, apabila apa yang telah ia
lakukan itu termasuk/merupakan tindak pidana menurut ketentuan undang-undang,
ia akan dipidanauntuk tindak pidana yang bersangkutan”.
Berdasarkan
bunyi ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa bahwa seseorang tidak dipidana
untuk suatu percobaan itu atas kehendak sendiri, yaitu dalam hal menghentikan
pelaksanaanya atas kehendak sendiri atau mengubah niatnya dan mencegah
tercapainya tujuan/hasil atau mencegah timbulnya akibat. Tetapi apabila tidak
selesainya percobaan atas kehendak sendiri itu telah merupakan/termasuk tindak
pidana menurut undang-undang, ia tetap dapat dipidana untuk tindak pidana yang
bersangkutan. Dengan demikian penghentian melakukan suatu tindak pidana tidak
secara otomatis menjadi alasan penghapus pidana.
Sehubungan
dengan masalah tersebut, Prof. Mulyatno pernah mengemukakan
pendapat bahwa unsur ke-3 delik percobaan dalam pasal 53 KUHP Indonesia
(“pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak sendiri”) merupakan alasan
penghapus penuntutan. Walaupun demikian beliau tidak berkeberatan untuk
menuntut orang yang secara sukarela telah mengurungkan niatnya itu apabila
telah menimbulkan kerugian, dan pidananya dapat dikurangi menurut kebijaksanaan
hakim. Pendapat Prof. Muliyatno ini mirip dengan penggabungan ketentuan dalam
KUHP Korea dan Thailand.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi
pada prinsipnya dalam KUHP Indonesia mencoba melakukan suatu tindak pidana
adalah perbuatan terlarang dan bagi pelakunya dapat dikenai sanksi pidana,
walaupun pengenaan pidananya tidak sampai batas maksimum sesuai dengan yang
ditentukan dalam pasal hukum yang dilanggar, tapi dikurangi sepertiga dari
maksimum ancaman sanksi pidana. Yang dapat dikenakan pidana hanya
percobaan melakukan kejahatan, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran tidak
dipidana. Sedangkan dalam KUHP Thailand percobaan melakukan tindak pidana pada
prinsipnya tidak dipidana melainkan sebagai alasan penghapus pidana. Akan
tetapi percobaan juga dapat dipidana apabila telah merupakan tindak pidana
tersendiri menurut undang-undang artinya si pembuat dipidana untuk tindak
pidana yang bersangkutan.
B.
Saran
Studi perbandingan hukum pidana
sangat berguna dan dibutuhkan dalam rangka mencapai perbaikan dan terwujudnya
pembaharuan dalam KUHP Indonesia oleh karena dalam menghadapi mata kuliah ini
semua pihak diharapkan memberikan perhatian yang sungguh-sungguh guna
meweujudkan KUHP nasional yang baru.
Daftar Pustaka
Ali, Mahrus, 2015,
Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Arief, Barda
Nawawi, 2002, Perbandingan Hukum
Pidana. Jakarta: Rajawali Pers.
Hamzah, Andi, 2009, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara. Jakarta
: Sinar Grafika
http://sutanmajolelo.blogspot.com/2012/07/percobaan-poging-dalam-hukum-pidana.html, diakses pada minggu 8 Juli 2018 pukul 17.01
WITA
[3] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm. 114.
[4] Ibid., hlm. 117-118
Comments
Post a Comment