Skip to main content

TEORI HUKUM "PENGARUH MAZHAB UTILITARIANISME DALAM PENENTUAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA"


TEORI HUKUM
"PENGARUH MAZHAB UTILITARIANISME DALAM PENENTUAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA"
                                                                            





UNIVERSAL COMMUNTY




  







KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT  yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga berkat karunianya penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pengaruh Mazhab Utilitarianisme Dalam Penentuan Pertanggung Jawaban Pidana”.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Penyusun menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena  itu  kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diperlukan sehingga makalah ini bisa menjadi lebih baik.
                                                                                              
   
                                                                        Penyusun













DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................. ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A.    Latar Belakang................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 2
C.     Tujuan dan Manfaat.......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................
1.      Sejarah Perkembangan Mazhab Utilitarianisme…………………4
2.      Pengaruh Mazhab Utilitarianisme Dalam Penentuan
Pertanggung Jawaban Pidana………………………………. …... 13          
BAB III PENUTUP.....................................................................................
A.    Kesimpulan........................................................................................ 25
B.     Saran.................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………






 BAB I
PENDAHULUAN

      A.    Latar Belakang

            Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti bahwa sebagai negara yang merdeka negara Indonesia memiliki kedaulatan untuk mengatur keberlangsungan kehidupan negaranya. Oleh sebab itu, diperlukanlah suatu aturan hukum untuk mengatur setiap perbuatan warga negara sehingga hak antara warga negara yang satu tidak melanggar hak warga negara lainnya.
            Hukum menurut isinya dibagi menjadi dua (2) yaitu hukum privat (hukum sipil) dan hukum publik (hukum negara). Hukum privat (hukum sipil) yaitu, hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sedangkan hukum publik (hukum negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).[1] Salah satu contoh hukum publik yaitu hukum pidana.
                                                                                                                       
            Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana (kepada barang siapa yang melanggar larangan tersebut), untuk singkatnya kita namakan perbuatan pidana atau delik.[2] Namun ada pula beberapa ahli menyebutkan perbuatan pidana sebagai tindak pidana. Seseorang yang telah melakukan pidana akan dikenakan pidana. Pengenaan pidana ini selain dilihat dari unsur perbuatan yang dilakukan juga dilihat dari  kemampuan bertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan penentuan dapat tidaknya seseorang dipidana.
            Pertanggung jawaban pidana mengandung makna bahwa setiap yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melalukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
            Hukum pidana sendiri tidak terlepas dari pengaruh aliran filsafat termasuk dalam hal penentuan pertanggung jawaban pidana hal disebabkan karena  filsafat merupakan induk dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Dari filsafat inilah kemudian berkembang berbagai disiplin ilmu pengetahuan salah satunya adalah hukum pidana.
            Dalam filsafat  sendiri terdapat beberapa aliran yaitu  aliran hukum alam, aliran hukum kodrat, mazhab positivisme hukum, mazhab sejarah, utilitarianisme, sociological jurisprudence, realisme hukum dan lain-lain. Banyaknya aliran/mazhab ini membawa implikasi terhadap beragam cara pemaknaan terhadap hukum.
            Berdasarkan aliran-aliran dalam filsafat ini, penyusun tertarik untuk mengkaji pengaruh ultilitarianisme dalam penentuan pertanggung jawaban pidana. Berdasarkan hal tersebut penyusun  mengangkat isu ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk makalah dengan judul “PENGARUH MAZHAB ULTILITARIANISME DALAM PENENTUAN PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA”

      B.     Rumusan Masalah
1.         Bagaimana sejarah perkembangan mazhab ultilitarianisme?
2.         Bagaimana pengaruh mazhab ultilitarianisme dalam penentuan pertanggung jawaban pidana?


      C.    Tujuan Dan Manfaat
1.         Untuk mengetahui dan memahami sejarah perkembangan mazhab ultilitarianisme
2.         Untuk mengetahui dan memahani pengaruh mazhab ultilitarianisme dalam penentuan pertanggung jawaban pidana







 BAB II      
PEMBAHASAN
    
     1.      Sejarah Perkembangan Mazhab Utilitarianisme
            Utilitarianisme merupakan bagian dari etika filsafat mulai berkembang pada abad ke 19 sebagai kritik atas dominasi hukum alam. Sebagai teori etis secara sistematis teori utilitarianisme di kembangkan Jeremy Bentham dan muridnya John Stuart Mill. Utilitarianisme disebut sebagai teroi kebahagian terbesar (the greatest happiness theory). Karena utilitiranisme dalam konsepsi Bentham berprinsip the greatest happiness of the greatest number. Kebahagian tersebut menjadi landasan moral utama kaum utilitarianisme, tetapi kemudian konsep tersebut di rekonstruksi Mill menjadi bukan kebahagia pelaku saja, melainkan demi kebahagian semua. Dengan prinsip seperti itu, seolah-olah utilitarianisme menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme.
            Utilitarianisme muncul pada abad ke -19, kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume, Helvetius dan Beccaria adalah arsitek utama mazhab ini. Namun Jeremy Benthamlah (1748-1832) yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal tentang reformasi sosial sehingga menjadi kiblat bagi kelas menengah. Sebab konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan kepentingan mereka.[3]
            Utilitarianisme secara etimologis berasal dari bahasa latin dari kata utilitas yang berarti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Jadi paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunanan atau faedah yang didatangkannya. Sedangkan secara terminologi utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah dan menguntungkan. Sebaliknya yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah dan menguntungkan atau tidak.[4]
            Pada masa Bentham, dunia feodal telah lenyap. Namun masyarakat terbagi menjadi 3 lapisan yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas buruh serta revolusi industri baru dimulai. Keadaan masyrakat kelas bawah dalam hirarki sosial sangat memilukan. Hak-hak  di bidang peradilan bisa dibeli, dalam arti orang yang tidak memiliki sarana untuk membelinya, maka tidak akan mendapatkan hak-hak tersebut. Tidak ada undang-undang yang mengatur buruh anak sehingga ekspoitasi terhadap mereka terjadi di tempat kerja. Hal itu tumbuh subur pada masa Bentham. Ia melihat hal itu sebagai ketidak adilan yang memilukan sehingga mendorongnya menemukan cara terbaik untuk merancang kembali (redesign) sistem yang tidak ada ini dalam bentuk aturan moral yang simple yang bisa dipahami  semua orang baik kaya maupun miskin. Bentham mengatakan bahwa yang baik (good) adalah yang menyenangkan (pleasurable) dan yang buruk (bad) adalah yang menyakitkan (pain).
            Dengan kata lain, hedonisme (pencarian) kesenangan adalah basis teori moralnya, yang biasa disebut hedonistik utilitarianisme. Nilai utama adalah kebahagian atau kesenangan yang merupakan nilai instrinsik. Sementara apa pun yang membantu pencapaian kebahagiaan atau menghindari penderitaan adalah nilai instrumental. Oleh karena itu boleh jadi kita melakukan sesuatu yang menyenangkan dalam rangka mendapatkan sesuatu lain yang menyenangkan juga, maka kesenangan memiliki dua nilai yaitu instrinsik dan instrumental[5]
            Aliran utilitarianisme merupakan tradisi pemikiran moral yang berasal dari Inggris yang kemudian menyebar ke seluruh kawasan yang berbahasa Inggris. David Hume (1711-1776), filsuf Skotlandia, merupakan pemerkarsa awal penting bagi pertumbuhan dan perkembangan aliran ini. Ia telah menemukan istilah utilitarianisme. Hume yakin bahwa baik adalah tindakan yang memiliki utility dalam arti tindakan itu membuat mu dan banyak orang lain menjadi bahagia. Namun ia tidak pernah mengembangkan ide ini dalam suatu teori yang komperhensif. Baru kemudian, utilitarianisme dalam bentuknya yang matang dikembangkan oleh filsuf Inggris, Jeremy Bentham 1748-1832, sebagai sistem moral bagi abad baru, melalui bukunya yang terkenal Introduction To The Principle Of Moral And Legislation 1789. Menurut Bentham, utilitarianisme dimaksudkan sebagai dasar etis-moral untuk memperbaharuhi hukum inggris, khususnya hukum pidana.
            Dengan demikian, Bentham hendak mewujudkan suatu teori hukum yang konkret, bukan yang abstrak. Ia berpendapat bahwa tujuan utama hukum adalah untuk memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksa perintah-perintah tuhan atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrat. Oleh karena itu, Bentham beranggapan bahwa klasifikasi kejahatan dalam hukum inggris sudah ketinggalan zaman dan karenanya harus diganti dengan yang lebih up to date. Melalui buku tersebut, Bentham menawarkan suatu klasifikasi kejahatan yang didasarkan atas berat tidaknya pelanggaran dan yang terakhir ini diukur berdasarkan kesusahan dan penderitaan yang diakibatkan terhadap para korban dan masyarakat.[6]
            Menurut Bentham, hukum Inggris yang berlaku saat itu berantakan karena tidak disertai landasan logis atau ilmiah apa pun. Sebagian orang berpendapat hukum harus didasarkan atas alkitab atau kesadaran pribadi dan sebagian lain atas hak-hak alami dan yang lain lagi atas akal sehat para hakim. Seluruh penjelasan ini menurut Bentham adalah tidak masuk akal dan lemah atas dasar itu. Bentham menawarkan hukum dan moralitas yang ilmiah dengan cara yang sama seperti klaim sosiologi dan psikologi yang telah membuat kajian tentang manusia menjadi ilmiah.[7]
            Menurut Bentham, pada dasarnya setiap manusia berada di bawah pemerintahan 2 penguasa yang berdaulat. Ketidaksenangan (pain)        dan kesenangan (pleasure) menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari kesenagan. Kebahagian merupakan tujuan utama manusia dalam hidup, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagian sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu perbuatan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapai kebahagiaan umat manusia, bukan kebahagian individu yang egois sebagaimana dikemukakan hedonism klasik. Dengan demikian, Bentham sampai pada prinsip utama utilitarianisme yang berbunyi “ the greatest happiness of the greatest number (kebahagian terbesar dari jumlah orang terbesar). Prinsip ini menjadi norma untuk tindakan-tindakan pribadi maupun untuk kebijakan pemerintah untuk rakyat.[8]
            Menurut Bentham prinsip ini harus diterapkan secara kuantitatif karena kualitas kesenangan selalu sama, maka satu-satunya aspek yang bisa berbeda adalah kuantitasnya. Dengan demikian, bukan hanya the greatest number yang dapat diperhitungkan akan tetapi the greatest happiness juga dapat diperhitungkan. Untuk itu, Bentham mengembangkan kalkulus kepuasaan (the hedonic calculus). menurut Bentham ada faktor-faktor yang menemukan berapa banyak kepuasaan dan kepedihan yang timbul dari sebuah tindakan. Faktor-faktor tersebut adalah :[9]
1)      Menurut intensitas (intensity)  dan lamanya (duration)  rasa puas atau sedih yang timbul darinya. Keduanya merupakan sifat dasar dari semua kepuasaan dan kepedihan; sejumlah kekuatan tertentu (intensitas)  dirasakan dalam rentang waktu tertentu.
2)      Menurut kepastian (certainty)  dan kedekatan (propinquity)  rasa puas atau sedih.
3)      Menurut kesuburan (fecundity), dalam arti kepuasan akan memproduk kepuasan-kepuasan lainnya dan kemurnian (purity). Maksudnya kita perlu mempertimbangkan efek-efek yang tidak disengaja dari kepuasan dan kepedihan.
4)      Menurut jangkauan (extent)  perasaan tersebut. Dalam arti kita perlu memperhitungkan berapa banyak kepuasaan dan kepedihan kita memperhitungkan berapa banyak kepuasaan dan kepedihan itu.

John Stuart Mill (1806-1873)
            Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah John Stuar Mill. Sejalan dengan pemikiran Bentham, Mill memiliki pendapat bahwa suatu perbuatan hendaknya bertujuan untuk mencapai sebanyak mungkin kebahagian. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.[10]
            Mill setuju dengan Bentham bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih lanjut, Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada kegunaannya, akan tetapi bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsang untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.[11]
                Namun demikian, Mill juga mengkritik pandangan Bentham, Pertama, bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Mill berpendapat bahwa kualitas kebahagiaan harus dipertimbangkan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang rendah. Kedua, bahwa kebahagian bagi semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagian satu orang saja yang bertindak sebagai pelaku utama, kebahagiaan satu orang tidak boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain.[12]
            Peran Mill dalam teori hukum terletak dalam penyelidikan-penyelidikannya mengenai hubungan-hubungan keadilan, kegunaan, kepentingan-kepentingan individu dan kepentingan umum. Penyelidikannya tentang sifat keadilan dan hubungannya dengan kegunaan dan memahami bahwa secara tradisional gagasan yang abadi tentang keadilan dan ketidakadilan bertentangan dengan gagasan-gagasan mengenai kegunaan dan kepentingan. Ia dengan tepat mengamati bahwa sebenarnya tidak ada yang lebih tidak tetap dan kontroversial daripada arti keadilan itu sendiri. Mill mencoba mensintesakan antara keadilan dan kegunaan, hubungannya yang mengejutkan yakni rasa adil pada hakikatnya itu berarti perasaan individu akan keadilan yang membuat individu menyesal dan menginginkan membalas dendam kepada setiap sesuatu yang tidak menyenangkannya, hal ini diredakan dan diperbaiki oleh perasaan sosialnya.[13]
            Mill juga menghubungkan keadilan dengan kegunaan umum yang mempunyai pendekatan yang berbeda dengan Bentham. Tekanannya berubah yakni atas kepentingan individu ke tekanan atas kepentingan umum dan kenyataannya ialah bahwa kewajiban lebih baik daripada hak, atau mencari sendiri kepentingan atau kesenangan yang melandasi konsep hukumnya. Tetapi pertentangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan bersama ditiadakan dalam teorinya dengan mengadu domba naluri intelektual dengan naluri non-intelektual dalam sifat manusia. Kepedulian pada kepentingan umum menunjuk pada naluri intelektual, sedangkan pengagungan kepentingan sendiri menunjuk pada naluri non-intelektual sehingga menghasilkan kesimpulan yang sama dan menakjubkan dalam meniadakan dualisme antara kepentingan individu dan kepentingan sosial dan perasaan keadilannya.[14]
            Rudolf von Jhering (1800-1889)                                                                 
            Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah Rudolf von Jhering dikenal sebagai penggagas teori Sosial Utilitarianisme atau Interessen Jurisprudence (kepentingan). Teorinya merupakan penggabungan antara teori Bentham dan Stuar Mill dan positivisme hukum dari John Austin. Pusat perhatian filsafat hukum Jhering adalah tentang tujuan, seperti dalam bukunya yang menyatakan bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal usul pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Lebih lanjut Jhering menyatakan bahwa tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum, berdasarkan orientasi ini isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.[15]
            Jhering menolak pandangan Von Savigny yang berpendapat bahwa hukum timbul  dari  jiwa  bangsa  secara   spontan, karena hukum senantiasa sesuai dengan kepentingan negara, maka tentu saja hukum itu tidak lahir spontan, melainkan dikembangkan secara sistematis dan rasional, sesuai dengan perkembangan kebutuhan negara. Jhering mengakui ada pengaruh jiwa bangsa, tetapi tidak spontan, yang penting bukan jiwa bangsa, tetapi pengelolahan secara rasional dan sistematis, agar menjadi hukum positif.[16]
            Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil tertentu yang diinginkan. Walaupun hukum mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi Jhering menolak pendapat para teoritis aliran sejarah bahwa hukum merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari tetapi hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.[17]
            Teori hukum Jhering berbasis ide manfaat. Tesis Bentham tentang manusia pemburu kebahagiaan muncul dalam pemikiran Jhering yang menurutnya entah negara, masyarakat maupun individu memiliki tujuan yang sama yakni memburu manfaat. Dalam memburu manfaat itu, seorang individu menempatkan cinta diri sebagai batu penjuru. Tidak seorang pun ketika berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa pada saat yang bersamaan ingin melakukan sesuatu bagi diri sendiri. Lebih lanjut menurut Jhering, posisi saya dalam dunia bersandar pada tiga proposisi : Pertama, saya di sini untuk saya sendiri, Kedua, dunia ada untuk saya, dan Ketiga, saya disini untuk dunia tanpa merugikan saya. Kemudian selanjutnya Jhering mengintrodusir teori kesesuaian tujuan sebagai jawaban atas kepentingan individu dalam kehidupan sosial. Kesesuaian tujuan atau lebih tepat penyesuaian tujuan ini merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama yakni kemanfaatan. Sehingga hukum berfungsi selain menjamin kebebasan individu untuk meraih tujuan dirinya yakni mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian, hukum juga bertugas mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain.[18]
            Jhering juga mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan mengembangkannya dengan prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan oleh Bentham dan dikembangkan oleh Mill, juga hal tersebut memberi sumbangan penting untuk menjelaskan ciri khas hukum sebagai suatu bentuk kemauan. Jhering mulai mengembangkan filsafat hukumnya dengan melakukan studi yang mendalam tentang jiwa hukum Romawi yang membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum mengabdi tujuan-tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah pengakuan tujuan sebagai prinsip umum dunia yang meliputi baik ciptaan-ciptaan yang tidak bernyawa maupun yang bernyawa. Bagi Jhering tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan yakni kesenangan dan menghindari penderitaan, namun kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama maka terbentuklah masyarakat, negara yang merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama itu.[19]
            Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah pahala dan manfaat yang biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang bersifat moralistis adalah kewajiban dan cinta. Hukum bertugas menata secara imbang dan serasi antara kepentingan-kepentingan tersebut.[20]
         Keseluruhan keinginan-keinginan tersebut oleh Jhering dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut :[21]
1.    Di luar hukum (hanya milik alam) yang diberikan kepada manusia oleh alam dengan atau tanpa usaha manusia (yakni hasil bumi);
2.     Hukum campuran, yakni syarat-syarat kehidupan khusus untuk manusia. Dalam kategori ini, ke empat syarat-syarat pokok kehidupan sosial yakni perlindungan kehidupan, perkembangan kehidupan, pekerjaan, dan perdagangan. Ini merupakan aspek-aspek khusus dari kehidupan sosial, tetapi tidak tergantung dari paksaan hukum;
3.    Sebaliknya, syarat-syarat hukum yang murni adalah yang seluruhnya tergantung dari perintah       hukum, seperti perintah untuk membayar utang atau pajak. Di lain pihak, tidak ada undang-undang yang diperlukan untuk hal-hal seperti makan dan minum, atau pembiakan jenis-jenis makhluk.
                                                                                                                                         
      2.      Pengaruh Mazhab Ultilitarianisme Dalam Penentuan Pertanggung Jawaban Pidana
            Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan suatu gejala sosial yang selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat dan negara. Tindakan – tindakan yang diambil untuk memberantas kejahatan salah satunya dengan memfungsikan instrumen Hukum Pidana secara efektif melalui penegakan hukum baik secara preventif maupun represif. Hukum Pidana adalah sistem aturan yang mengatur perbuatan apa yang dilarang disertai sanksi tegas bagi setiap pelanggar aturan tersebut serta tata cara penegakannya. Fungsi dari Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
            Moeljatno menyatakan hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan - aturan untuk menentukan perbuatan yang dilarang disertai ancaman sanksi, menentukan kapan dan dalam hal apa bagi mereka yang melanggar dapat dijatuhi pidana, dan menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.[22]
          Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana, dari berbagai literature dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai  terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: Tindak pidana, delict, perbuatan pidana.[23]

            Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana untuk menyebut tindak pidana. Menurut beliau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[24]
            Van Hamel merumuskan sebagai berikut: strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.[25]
            Menurut Pompe, perkataan strafbaarfeit secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharannya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.[26] 
           
            Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1)        Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan negatif (tidak berbuat)
2)        Diancam dengan pidana
3)        Melawan hukum
4)        Dilakukan dengan kesalahan
5)        Oleh orang yang mampu bertanggungjawab[27]
                                                              
            Aturan tentang tindak pidana pada mulanya memang tidak dimaksudkan untuk melindungi negara dan masyarakat dari kejahatan atau pelaku kejahatan, baik yang telah nyata maupun yang berpotensi. Perspektifnya tidak positif, tetapi justru negatif, yaitu bukan negara yang berada dalam keadaan terancam dengan adanya berbagai tindakan pidana, tetapi justru sebaliknya para potential of fender atau offender itu sendiri yang jika perbuatannya tidak dinyatakan dilarang dan diancam dengan pidana akan mendapat perlakuan yang sewenang-wenang dari penguasa/negara ataupun tindak “main hakim sendiri” dari masyarakat.
            Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggung jawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Penentuan apakah seseorang patut dicela karena perbuatannya, dimana wujud celaan tersebut adalah pemidaan. Aturan mengenai pertanggung jawaban pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut.
            Berdasarkan hal ini aturan tentang pertanggung jawaban pidana justru didesain dalam prespektif positif, yaitu sebagai obyek regulasinya adalah aparat negara. Dalam hal ini aparat negara yang berwenang mengkualifikasi adanya kesalahan pada diri seseorang. Apabila kejahatan aturan tindak pidana bukan hanya tertuju terhadap para pelaku kejahatan, tetapi juga anggota masyarakat yang berpotensi melakukannya, maka aturan tentang pertanggung jawaban pidana hanya berkenaan dengan mereka yang ternyata telah melakukan  tindak pidana tersebut. Kenyataan bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana bersambungan dengan penilaian kesalahan pada dirinya karena perbuatannya itu. Dominasi aparatur hukum untuk menentukan kesalahan ini yang berada dalam substansi regulasi tentang pertanggung jawaban pidana.
            Istilah pertanggung jawaban sendiri berasal dari kata majemuk tanggung-jawab yang artinya adalah menanggung segala pa yang terjadi yang berhubungan dengan kewajiban ataupun sesuatu perbuatan.[28] Dengan demikian pertanggung jawaban pidana berarti sesuatu hukuman (pemidanaan yang harus ditangung ) dijalani oleh seseorang/kelompok orang, sehubungan dengan kewajiban ataupun perbuatannya yang melanggar hukum pidana. Akan timbul pertanggung jawaban pidana apabila terjadi sesuatu tindak pidana.
            KUHP tidak menjelaskan tentang pertanggung jawaban pidana, tetapi hanya menjelaskan tentang tentang orang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh sebab itu maka kita harus menggunakan penafsiran secara a contrario yaitu penafsiran yang dilakukan dengan mempertentangkan untuk mendapatkan makna. Adapun bunyi Pasal 44  Ayat 1 KUHP yaitu :

Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena cacat jiwa dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana

            Untuk terjadinya suatu tindak pidana diperlukan adanya beberapa syarat. Pada umumnya para sarjana menyebutkan bahwa syarat-syarat tersebut, pertama adalah adanya suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, kedua bahwa perbuatan itu dapat dipersalahkan terhadap si pelaku  haruslah orang yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana.[29]
            Dari uraian di atas, tampaklah bahwa kesalahan merupakan unsur utama yang akan sangat menentukan baik mengenai dapat atau tidaknya suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu tindak pidana, maupun mengenai dapat atau tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan terhadap hukum pidana. Hal tersebut adalah merupakan konsekuensi logis dari dianutnya  suatu asas yang tidak tertulis yang dipegang teguh di dalam hukum pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan atau geen straf zonder schuld.
            Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  yang kita pergunakan sekarang ini tidak memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan kesalahan, oleh karena itu untuk mendapatkan pengertian mengenai kesalahan tersebut kita harus mencari melalui doktrin ataupun yurisprudensi.
            Menurut doktrin, sedikitnya terdapat empat pengertian mengenai kesalahan, yaitu :[30]
1)      Pengertian kesalahan dipakai sebagai syarat umum untuk dapat dipidananya seseorang atas perbuatannya. Dalam pengertian ini kesalahan didefinisikan sebagai suatu sifat yang dapat dicelakan terhadap si pelaku. Atau dengan perkataan lain bahwa dalam pengertian ini kita berbicara mengenai alasan-alasan pengahpusan pidana.
2)      Pengertian kesalahan dipakai sebagai penjelasan dari bagian khusus suatu rumusan pidana (delik), yaitu sebagai sinonim dari sifat kealpaan/kekhilafan (misalnya dalam Pasal 359 KUHP yang antara lain menyebutkan bahwa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain). Lazimnya untuk kesalahan dalam pengertian ini dipergunakan istilah dalam bahasa lain culpa atau di dalam doktrin sering disebut sebagai kesalahan dalam pengertian sempit.
3)      Kesalahan dalam pengertian luas adalah meliputi bentuk-bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan.
4)      Kesalahan yang dipergunakan sebagai istilah untuk menjelaskan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana (dapat diduga telah melakukan suatu perbuatan pidana). Dalam hal ini kesalahan diartikan sebagai telah berbuat.

            Istilah kesalahan (schuld)  adalah pengertian hukum yang tidak sama dengan pengertian harfiah; fout. Kesalahan dalam hukum pidana berhubungan dengan pertanggungjawaban atau mengandung beban pertanggungjawaban pidana, yang terdiri dari kesengajaan (dolus atau opzet)  dan kelalaian (culpa).[31]
            Adanya suatu kelakuan yang melawan hukum belum cukup untuk menjantuhkan pidana, tetapi masih disyaratkan pembuat itu untuk menjantuhkan pidana  (pertanggungjawaban atas perbuatannya). Jadi untuk memidana seseorang, harus memiliki  dua unsur yaitu :
1)      Pembuat harus melawan hukum;
2)      Harus ada kesalahan
            Dalam ilmu hukum pidana kesalahan dapat diklasifikasikan atas beberapa macam, antara lain:
1)      Kesengajaan
            Undang-undang tidak memberikan pengertian mengenai kesengajaan. Dalam Memorie van Toelichting (MvT)  Belanda ada sedikit keterangan yang menyangkut mengenai kesengajaan ini, yang menyatakan “pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki (willens)  dan (wetens). Setidak-tidaknya kesengajaan itu ada dua yakni kesengajaan berupa kehendak dan kesengajaan berupa pengetahuan (yang diketahui).
            Dalam doktrin hukum pidana dikenal ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu :
a)      Kesengajaan sebagai niat (opzet als oogmerk)
Bentuk kesengajaan sebagai maksud sama artinya dengan menghendaki (willens)  untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif ) dan atau juga mengehndaki timbulnya suatu akibat dari perbuatan itu (tindak pidana materiil). Itulah  bentuk yang paling sederhana dari pengertian kesengajaan sebagai maksud.


b)       Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewutzjin)
            Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya, tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Menurut teori kehendak, apabila pembuat juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang lebih dahulu telah dapat digambarkan sebagai suatu akibat yang tidak dapat dielakkan terjadinya maka orang itu melakukan sengaja dengan kepastiaan terjadi (opzet bij noodzakeliijkheids atau zekerheidsbewustzijn). Menurut teori membayangkan, apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut serta mempengaruhi terjadinya akibat yang tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan, maka orang itu melakukan sengaja dengan kepastian terjadi (opzet bij noodzakelijkheids atau zekerheidsbewustzjin).[32]
c)      Kesengajaan sebagai kemungkinan (dolus eventualis, opzet bij mogelijkheidsbewustzjin).
d)       Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang ia tidak inginkan dari perbuatan, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, ia tidak mundur dan siap mengambil risiko untuk melakukan perbuatan itu. Menurut Van Hattum dan Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa:[33]
Tidak ada kesengajaan, melainkan hanya mungkin ada culpa atau kurang berhati-hati. Kalau masih dapat dikatakan, bahwa kesengajaan secara keinsafan kepastian praktis sama atau hampir sama dengan kesengajaan sebagai tujuan (oogmerk), maka sudah terang kesengajaan secara keinsafan kemungkinan tidaklah sama dengan dua macam kesengajaan yang lain itu, melainkan hanya disamakan atau dianggap seolah-olah sama.

2)      Kelalaian (culpa)
            Undang-Undang tidak member definisi apakah kelalaian itu hanya Memorie van Toelichting yang mengatakan bahwa kelalaian (culpa)  terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaiman pun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict)  sehingga diadakan pengurangan pidana.[34]
            Arti dari kelalaian atau kelapaan (culpa)  dari ilmu pengetahuan hukum pidana diketahui sifat-sifatnya adalah ciri dari culpa, yaitu :[35]
a)      Sengaja melakukan tindakan yang nyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secara salah, seharusnya dia menggunakan ingatnya (sebaik-baiknya), tetapi dia melakukan suatu tindakan (aktif atau pasif)  dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
b)      Pelaku dapat memperkirakan akibat yang terjadi, tetapi merasa dapat mencengahnya, sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidak diurungkan, atas tindakan mana ia kemudian dicela, karena sifat melawan hukum.

            Istilah dari doktrin tentang culpa ini disebut schuld yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sengan kesalahan. Tetapi maksudnya dalam pengertian sempit sebagai lawan dari opzet. Pada umumnya, sengaja adalah menghendaki sedangkan culpa adalah tidak menghendaki adalah suatu bentuk kesalahan yang lebih ringan.
 Arti kata culpa :
            Kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak sederajat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.[36]
Bentuk culpa pada umumnya dibedakan menjadi dua yaitu :
a)      Culpa dengan kesadaran. Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, tetap saja timbul akibat tersebut.
b)      Culpa tanpa kesadaran, dalam hal ini si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam oleh UU, sedangkan ia harusnya memperhitungkan akan suatu akibat.

            Asas kesalahan (mens rea) dan asas legalitas merupakan asas yang lahir dari aliran hukum pidana klasik. Aliran pidana klasik  adalah semangat pengembanan yang pada masa itu amat berpengaruh pada nilai-nilai modern dan rasional. Aliran ini berkembang dalam ilmu pengetahuan hukum terhadap kodifikasi hukum pidana. Pengaruh aliran ini terasa pada tiga asas hukum pidana salah satunya asas mens rea.
            Asas mens rea atau asas kesalahan individu yang menyebabkan tidak seorang pun dapat dipidana untuk hal-hal yang tidak dikehendaki. Asas keseimbangan dalam pemidanaan berarti bahwa sanksi pidana harus dijatuhkan secara proposional, pemidanaan terhadap delik tidak boleh berlebihan. Sanksi pidana diberikan oleh tata hukum, dari perbuatan tertentu yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, sehingga sanksi lain seperti perdata, ganti kerugian sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Hukum perdata tumbuh disamping hukum pidana. Jika sanksi  hukum pidana ditunjukkan kepada retribusi atau pencengahan maka sanksi hukum perdata ditujukan kepada ganti rugi.[37]Tokoh dari aliran klasik ini yaitu Beccaria dan Lambroso serta Jeremy Bentham.
            Beccaria sangat dipengaruhi oleh filsafat mengenai “kebebasan kehendak” yang kemudian dikemukakan bahwa perbuatan manusia bersifat purpositive (bertujuan) dan didasarkan pada paham  hedonism atau prinsip kesenangan dan kesusahan yaitu “manusia memilih perbuatan-perbuatan yang akan memberikan mereka kesenangan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang membawa kesusahan”. Oleh karena itu Beccaria berpendapat pidana itu harus dirancang untuk masing-masing kejahatan menurut tingkatnya yang akan menghasilkan lebih banyak kesusahan daripada kesenagan terhadap perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan. Pandangan mengenai perbuatan orang secara hedonistik ini mengemukakan bahwa undang-undang harus dirumuskan secara jelas dan tidak memberikan kesempatan untuk adanya penafsiran oleh hakim.[38]
             Tokoh lainnya dari aliran klasik ini adalah Jerry Bentham. Idenya adalah kebaikan yang terbesar harus untuk jumlah orang yang terbesar. Manusia merupakan ciptaan, mahluk yang rasional memilih secara sadar kesenagan dan menghindari kesusahan. Oleh karenanya suatu pidana harus ditetapkan pada setiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenagan yang ditimbulkan oleh kejahatan.[39]
            Bentham membagi empat antara penderitaan dan kesenagan yang berhubungan dengan sanksi hukum yakni penderitaan dan kesenangan fisik, moral, politis dan religious. Oleh karenanya sanksi yang dibedakan kesenagan dan penderitaan yang mungkin diharapkan secara wajar tanpa intervensi manusia menghasilkan sanksi ilmiah. Selanjutnya sanksi moral adalah kesenangan dan penderitaan yang diakibatkan oleh tindkaan sesame  manusia. Kesenagan dan penderitaan dari tindakan penengak hukum, berdasarkan hukum yang berlaku atau disebut sebagai sanksi politis, serta kesenagan dan penderitaan yang berdasarkan pada orientasu keagaamaan, disebut sebagai sanksi pidana.[40] Pada masa aliran klasik lahir KUHP Prancis (1791 yang banyak dipengaruhi oleh pikiran Beccaria. Selanjutnya aliran ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya sebagai akibat pengaruh KUHP Prancis, dan hal ini berpengaruh pula terhadap KUHP Indonesia, sebab Indonesia dijajah oleh Belanda sehingga berdasarkan asas konkrondasi yang menyatakan bahwa hukum di negara penjajah di berlakukan di negara jajahan. [41]
            Beccaria merupakan salah satu arsitek utama mazhab utilitarianisme yang muncul pada abad  ke -19. Namun Jeremy Benthamlah (1748-1832) yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal tentang reformasi sosial sehingga menjadi kiblat bagi kelas menengah. Sebab konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan kepentingan mereka.[42] Dengan demikian aliran filsafat yang mempengaruhi aliran klasik adalah mazhab utilitarianisme.

            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh mazhab ultilitarianisme dalam penentuan pertanggungjawaban pidana yaitu dalam peratanggungjawaban pidana harus terdapat kesalahan atau asas mens rea setelah melakukan suatu perbuatan pidana sehingga perbuatannya dapat dipertanggungajwabkan. Asas mens rea sendiri merupakan asas yang lahir pada zaman aliran klasik yang dipengaruhi oleh mazhab ultilitarianisme.







 BAB III
PENUTUP
            A.    Kesimpulan
1.         Sejarah perkembangan mazhab utilitarianisme pada mulanya mazhab ini dipelopori oleh David Hume, Helvetius dan Beccaria namun mazhab ini kemudian terkenal setelah diperkalkan oleh Jemery Bentham yang menurut konsep Bentham the greatest happiness of the greatest number. Baik buruknya suatu perbuatan dinilai dari mendatangkan kesenangan atau mendatangkan penderitaan. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang mendatangkan kesenangan sedangkan perbuatan yang tidak baik adalah perbuatan yang mendatangkan penderitaan.

2.         Pengaruh mazhab utilitarianisme dalam penentuan pertanggung jawaban pidana yaitu dalam pertanggung jawaban pidana untuk menentukan seseorang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana tidak cukup karena telah melakukan suatu perbuatan pidana tetapi perbuatan tersebut harus mengadung kesalahan. Asas kesalahan atau mens rea atau gen straft zonder schuld merupakan asas yang lahir dari pada zaman klasik dengan tokohnya Beccaria, Jeremy Bentham dll Aliran klasik ini dipengaruhi oleh mazhab utilitarianisme.
              B.     Saran
    Dalam proses penjatuhan pidana sebaiknya mazhab ini diterapkan sehingga orientasi tujuan pemidaan bukan sekedar penjatuhan derita atau pembalasan atas perbuatan yang dilakukan tetapi berorientasi terhadap tujuan memperbaiki pelaku.

Proses penerapan mazhab ini dalam prakteknya akan sangat tergantung pada individu itu sendiri dalam proses penjantuhan pidana akan  sangat tergantung kepada aparat penengak hukum seperti hakim  dalam penjatuhan hukuman sebaiknya memperhatikan dan menerapkan mazhab ini sehingga putusan yang dihasilkan sesuai dengan tujuan dari mazhab ini untuk memberikan kebahagian sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyak orang dapat terwujud.








 DAFTAR PUSTAKA

A.      Buku, Jurnal
Arifin Muhamad, 1990, T.eori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, Rajawali, Jakarta                                          
Asikin Zainal, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.1, Edisi 1, Rajawali Press, Jakarta        
                                               
----------------, 2018, Mengenal Filsafat Hukum,Cet.Pertama, Pustaka Bangsa,Mataram

Bemmelen J.M.Van, 1984, Hukum Pidana I,Bina Cipta,Bandung

Bernard et all, 2013, Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing,Yogyakarta

Chazawi Adami, , 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta

Erwin Muh, 2011, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press,  Jakarta

Hamzah Andi, 2010, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet.Ke.4, PT. Rineka Cipta, Jakarta

Hartanti Evi, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Cet.Ke.5, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta

Ilyas  Amir,  2012, Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education dan Pukap Indonesia, Yogyakarta

Lamintang P.A.F., 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet.Ke.4, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung

Moeljatno, 2008, Asas - asas Hukum Pidana, Cetakan kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta
                                                                                            
----------------, 2015, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 9, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Alumni, Bandung


Otje Salman H.R, S, 2010, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT. Refika Aditama, Bandung

Poerwadarminta W.J.S, 1949, Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B.Wolters, Jakarta

Prasetyo Teguh & Abdul Alim, 2007, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Pustaka pelajar,Yogyakarta

Prodjodikoro Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung

Rahardjo Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakt, Bandung

Robinson Dave dan Christ Garratt, 1998, Mengenal Etika For Beginners, Mizan, Bandung

Syaiful Bakhri, 2010,Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional,Jurnal Hukum No.1 Vol.18, Januari

Tongat, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Cet. Ke.3, UMM Press, Malang


B.       Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


C.      Internet
AB Junaidy, Gambaran Umum Tentang Ultilitarianisme, http://digilib.uinsby.ac.id. Di akses pada hari Rabu, 23 Oktober 2019, Pukul 16.52 WITA

Datu Hanggar Jaya Ningrat, Aliran-Aliran Hukum Pidana, http://www.slideshare.net/mobile/hanggardatu/aliran-hukum-pidana-35792636. Di akses Pada Hari Rabu, 23 Oktober 2019, Pukul 17.14 WITA.






               [1]Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, Cet.1, Edisi 1, Rajawali Press, Jakarta, 2012,hlm.78                           
             [2]Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet. 9, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2015,hlm.2        
                [3]Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum,Cet.Pertama, Pustaka Bangsa, 2018, Mataram, hlm.141
                [4]Ibid.,hlm.143          
                [5]AB Junaidy, Gambaran Umum Tentang Ultilitarianisme, http://digilib.uinsby.ac.id. Di akses pada hari Rabu, 23 Oktober 2019, Pukul 16.52 WITA
                [6]Ibid.,hlm.53

                [7]Dave Robinson dan Christ Garratt, Mengenal Etika For Beginners, Mizan, Bandung, 1998, hlm.70
                [8]AB Junaidy, Gambaran Umum Tentang Ultilitarianisme, Lo.Cit.,hlm.54
                [9]Ibid.,hlm.55
                [10]H.R Otje Salman, S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 44.
                [11] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakt, Bandung, 2006, hlm.277
                [12]Muh. Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press,  Jakarta, 2011, hlm.183-184            
                [13]Muhamad Arifin, T.eori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm.111

                [14]Ibid.,hlm.121   
                [15]H.R. Otje Salman, S, Loc.Cit.,      
                [16]Teguh Prasetyo & Abdul Alim, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2007,hlm.100.
                [17]Satjipto Rahardjo, Loc Cit.,       
                [18]Bernard et allTeori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013,hlm.98-99
                [19]W. Friedman, Op.Cit.,hlm.122-123
                [20]Bernard et allLoc,Cit.,
                [21]W. Friedman, Loc.Cit.,
                                                             

[22] Moeljatno, Asas - asas Hukum Pidana, Cetakan kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta,2008, hlm.1.
                [23]Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Cet. Ke.3, UMM Press, Malang, 2012,hlm.91
                [24]Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana , Op.Cit., hlm.59          
                [25]Ibid.,                                                                      
                [26]Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Cet.Ke.5, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.6
                [27]Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Op.Cit., hlm.95
                [28]W.J.S Poerwadarminta, Logat Kecil Bahasa Indonesia, J.B.Wolters, Jakarta, 1949,hlm.110
                [29]J.M.Van Bemmelen, Hukum Pidana I,Bina Cipta,Bandung, 1984,hlm.99
                [30]Ibid.,hlm.142
                [31]Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002,hlm.90-91
                [32]Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cet.Ke.4, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010,hlm.119
                [33]Amir Ilyas,  Asas-Asas Hukum Pidana, Rengkang Education dan Pukap Indonesia, Yogyakarta, 2012,hlm.82
[34]Ibid.,hlm.125
[35]P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cet.Ke.4, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,hlm.342
                [36]Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2003,hlm.42
                [37]Syaiful Bakhri, Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional,Jurnal Hukum No.1 Vol.18, Januari 2010,hlm.144
                [38]Datu Hanggar Jaya Ningrat, Aliran-Aliran Hukum Pidana, http://www.slideshare.net/mobile/hanggardatu/aliran-hukum-pidana-35792636. Di akses Pada Hari Rabu, 23 Oktober 2019, Pukul 17.14 WITA.
                [39]Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,Alumni, Bandung,hlm.31
                [40]Syaiful Bakhri, Pengaruh Aliran-Aliran Falsafat Pemidanaan Dalam Pembentukan Hukum Pidana Nasional,Op.Cit.,hlm.145
                [41]Ibid.,146
                [42]Zainal Asikin, Mengenal Filsafat Hukum,Loc.Cit.,

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA OLEH Universal Community Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan. Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis selalu membuka diri untuk menerima saran dan masukan yang membangun guna perbaikan dalam hal penulisa

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND” OLEH UNIVERSAL COMMUNITY Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis sel

Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Sosiologis

Meningkatnya angka kejahatan dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan besar mengenai penyebab dan cara menanggulangi kejahatan tersebut. Tidak hanya angka kejahatan yang terus meningkat, jenis atau bentuk kejahatan yang terjadi pun semakin beragama. Fenomena ini harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Baik itu perhatian dari pemerintah, perhatian dari para penegak hukum, perhatian dari para akademisi, dan terlebih lagi perhatain dari para mahasiswa fakultas hukum yang saat ini masih memperdalam ilmu dalam rangka enjadi generasi penerus estafet penegakan hukum di Negara ini.  Semakin kompleksnya kebutuhan dalam masyarakat menimbulkan berbagai cara yang ditempuh oleh masyarakat yang bersangkutan dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut. Bagi masyrakat yang tidak bisa mengontrol dirinya tentu akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebetuhan tersebut, baik itu cara yang dibolehkan maupun cara-cara yang dilarang oleh hukum. Kondisi yang sedemikian rupa memerlukan