Skip to main content

TEORI-TEORI SOSIOLOGI HUKUM



Teori adalah kerangka intelektual yang diciptakan untuk bisa menangkap dan menjelaskan objek yang di pelajari secara seksama. Suatu hal yang semula tampak bagaikan cerita cerai berai tanpa makna sama sekali, melalui pemahaman secara teori bisa diliathan sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang mempunyai wujud yang baru dan bermakna tertentu.

Sosiologi hukum melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat, tidak diluar itu.bagi sosiologi hukum kehidupan hukum tidak bisa di lepaskan dari kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Hukum tidak bisa dilihat sebagai steriotip-steriotip perbuatan tau konsep-konsep abstrak,melainkan sesuatu yang substansial.substansial dalam bentuk perilaku(sosial) manusia. Sosiologi hukum,untuk jelasnya, adalah sosiologi dari atau tentang hukum, oleh karena itu, apabila berbicara tentang perilaku sosisial, maka ini berhubungan dengan hukum yang berlaku. Berikut adalah beberapa teori dalam sesiologi hukum:

1. Teori Klasik (Aliran Sociological Jurisprudence)  

Menurut August Comte Teori klasik ialah Zaman teologi atau "fiktif" yaitu masa kanak-kanaknya kemanusiaan. Jiwa atau semangat manusia mencari penyebab dari timbulnya fenomena-fenomena, baik baik dengan cara menghubungkannya dengan benda-benda yang dimaksud (fetishisme atau memuja benda seperti jimat) atau dengan menganggap adanya makhluk gaib (agama politeis) atau dengan satu Tuhan saja (monoteisme). "Jiwa manusia menghadirkan gambaran bahwa fenomena dihasilkan lewat perbuatan kekuatan gaib (supranatural) yang jumlahnya sedikit atau banyak, secara langsung dan terus menerus". Masa ini adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh dan agama; dunia bergerak menuju alam baka, menuju kepemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia dimana "orang mati mengatur hidup". 

Sedangkan menurut Eugen Ehrlich Teori Klasik adalah adanya pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Konsep ini menekankan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns). 

Eugen Ehrlich, seorang professor Austria termasuk sosiolog hukum pada era klasik. Pada tahun 1913, Ehrlich menulis buku berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Ia terkenal dengan konsep “living law”, Ehrlich mengatakan, bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, tetapi terletak di dalam masyarakat itu sendiri. 

Kebaikan dari analisis Ehrlich terletak pada usahanya untuk mengarahkan perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, dimana akan ditemukan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan hukum. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan untuk memahami hukum dalam konteks sosial. Akan tetapi, kesulitannya adalah unutk menentukan ukuran-ukuran apakah yang dapat digunakan untuk menentukan suatu kaidah hukum yang benar-benar merupakan hukum yang hidup dan dianggap adil dalam masyarakat. 

Eugen Ehrlich, meninggal pada tahun 1923, karya utamanya Beitrage Zur teorie der Rechtsquellen (1902), Grundlegung der Sosiologi des Rechts (1919), beberapa hal penting yang menurut pemikiran Eugen Ehrilich:

a. Dianggap sebagai pembentuk atau pelopor ilmu hukum sosiologis (sociology jurisprudence).
b. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan lebih memahami hukum dalam konteks social.
c. Meneliti latar belakang aturan formal yang dianggap sebagai hukum.
d. Atruran tersebut merupakan norma sosial yang actual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan disebut sebagai hukum yang hidup (Living Law) yaitu hukum yang dilaksanakan dalam masyarakat sebagai lawan dari hukum yang diterapkan Negara.

e. Hukum hanya dapat dipahami dalam fungsinya di masyarakat.
f. Membedakan hukum positif dengan hukum yang hidup atau suatu perbedaan antara kaidah-kaidah sosial.

g. Hukum positif akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau apa yang disebut antropolog sebagai pola kebudayaan (culture patterns).

h. Pusat perkembangan hukum bukan pada legislative, keputusan yudikatif ataupun ilmu hukum tetapi justru terletak pada masyarakat itu sendiri.

i. Hukum tunduk pada kekuatan social, hukum tidak mungkin efektif, oleh karena keterlibatan masyarakat didasarkan pada pengakuan social pada hukum, bukan penerapannya secara resmi oleh Negara.

j. Tertib social berdasarkan fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan atau norma social yang tercantum dalam sistem hukum.

k. Sebagian kecil segi kehidupan yang diadili oleh pejabat-pejabat resmi (PN) yang berfungsi menyelesaikan perkara (perselisihan).

l. Mereka yang mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.

m. Diletakkannya peraturan-peraturan untuk mencapai keputusan-keputusannya jika terjadi sengketa di atas tata tertib masyarakat yang damai dan spontan. peraturan-peraturan untuk mengambil keputusan-keputusan menyimpulkan adanya sengketa antara kelompok atau individu yang ada pembatasan kepentingan-kepntingan dan kompetensinya. Agar peraturan ini secara jelas dapat terbebas dari tata tertib masyarakat yang damai dan spontan maka haruslah terjadi perbedaan antara individu dan kelompok dan haruslah timbul berbagai kelompok yang sama nilainya.

n. Bahwa apa yang dinamakan ilmu hokum yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relative dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan praktis dan sementara waktu berkat sistematisasi khayali tidak mampu memahami apapun, kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hokum integral dan spontan dalam segala tingkat kedalamannya disini Ehrlich ingin membuktikan bahwa dikalau sosiologi hukum hanya mengambil sistematisasi ilmu hukum sebagai titik tolak, maka sosiologi hukum itu tidak akan memahami tujuannya yang sebenarnya, yakni kenyataan hokum integral yang mentransendenkan semua skema “dalil hokum bersifat abstrak”. 

o. Menurut Ehrlich ada suatu hokum yang menguasai masyarakat sebagai tata tertib perdamaian. Dan hukum ini yang digunakan sebagai dasar untuk segala peraturan hukum dank arena jauh lebih ebjektif daripada peraturan manapun juga, hokum ini merupakan tata tertib langsung dari masyarakat. Jadi menurut Ehrlich perkembangan suatu hokum tidak mesti dicari dalam undang-undang, jurisprudensi ataupun dalam doktrin, lebih umum lagi dalam sistem peraturan-pertaturan yang manapun juga tatapi bisa cari dalam masyarakat itu sendiri. 

p. Menurut Ehrlich, apa yang bersifat kelembagaan dalam hokum atau spontan adalah berasal dari masyarakat yang berlawanan dengan negara dan memiliki cirri-ciri integral law yang menguasai perserikatan –perserikatan. hokum kontak, hokum kekayaan, dan hokum penguasaan sepihak hanyalah bentuk-bentuk samaran dari hokum masyarakat serta tata tertib masyarakat, sedangkan tata tertib objektif dan spontanitas hokum dari individual tidak ada.

2.    Teori Makro
Teori makro menjelaskan hubungan atau kaitan antara hukum dengan bidang-bidang lain diluarnya, seperti budaya, politik, dan ekonomi. Dengan memberikan penjelasan tersebut, teori makro ini memberi tahu kepada kita bahwa tempat hukum adalah dalam konteks yang luas yaitu hukum tidak dapat dibicarakan terlepas dari korelat-korelat hukum tersebut. Hukum memiliki habitat dan kenyataan ini tidak ditinggalkan dalam kajian sosilogi hukum. 

Karya-karya Durkheim dan Weber merupakan contoh klasik makro, kedua pemikir tersebut melihat sosiologi sebagai kajian terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, sehingga pengkajian mengenai hukum juga ditempatkan kerangka pemahaman yang demikian itu. 

a. Emile Durkheim

Durkheim menjelaskan bahwa hukum muncul sebagai institusi yang spesialistis bagian dari proses perubahan dalam masyarakat yang dipolakan sebagai proses diferensiasi sosial. Proses pembagian kerja dalam masyarakat (division du travail social) itu pada akhirnya memberi akibat serta cap di bidang hukum, yang kemudian muncul sebagai institusi yang berdiri sendiri melalui semua sifat spesial tersebut. Emile Dirkheim berpendapat bahwa teori Makro adalah kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang ada dan dijumpai di masyarakat. 

Durkheim terobsesi oleh keinginan untuk menjelaskan, mengapa manusia hidup bermasyarakat, sedang pada dasarnya dilahirkan sebagai individu. Teori Durkheim untuk menjelaskan fenomena tersebut mengajukan konsep solidaritas yang mendasari pembentukan masyarakat manusia. Setiap tipe masyarakat berkorespondensi dengan hukum yang digunakan waktu itu. “Manusia hanya dapat disebut sebagai demikian karena ia hidup dalam masyarakat”. Kehidupan yang  kolektif tidak dilahirkan dari kehidupan individual, tetapi justru sebaliknya yang kedua itulah yang dilahirkan dari yang pertama. 

Teori Durkheim mengatakan, hukum yang dipakai oleh masyarakat berpadanan dengan tipe solidaritas masyarakat disitu. Solidaritas ada dua macam, yaitu:

i. Solidaritas mekanik
Solidaritas mekanik mensyaratkan ada suatu ikatan yang bersifat mekanis antara para warga masyarakat. Solidaritas ini menjadi landasan kehidupan bersama. Tanpa ada ikatan seperti itu kehidupan bersama tidak ada, karena seperti dikatakan di atas, yang asli adalah individu. Tipe hukum yang sesuai untuk itu adalah yang bersifat keras, yang tidak membiarkan sama sekali terjadi perilaku menyimpang anggota masyarakat. Hukum disini bekerja sebagai alat pidana.

ii. Solidaritas organik
Solidaritas organik memberikan kelonggaran terhadap masing-masing anggota masyarakat un tuk menjalin hubungan satu sama lain, tanpa ada campur tangan. Pikiran dasar di situ mengatakan, mkehidupan bersama akan terbina dengan memberikan kebebasab terhadap para anggota untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hukum baru turut campur apabila terjadi ketidakadilan dalam hubungan tersebut. Sifat pengaturan adalah perdata.

Hukum dirumuskan olehnya sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya suatu sanksi didasarkan pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan dan keyakinan dalam masyarakat tentang baik dan buruknya suatu tindakan serta peranan sanksi tersebut dalam masyarakat. Pembedaan jenis sanksi tersebut berdasakan tipe solidaritas masyarakat. 

b. Max Weber 

Karya terpenting Max Weber tentang sosiologi hukum, tertuang dalam bukunya “Wirtschaft und Gesellschaft” (1925). Pikiran Weber di bidang sosiologi hukum sampai sekarang masih sering menjadi acuan. Pikiran tersebut merupakan hal yang sentral dalam sosiologi Weber.

Sosiologi hukum Weber dimulai dengan menghadapkan atau mempertentangkan “Orde Ekonomi” dengan “Orde Hukum”. Perbedaan antara keduanya menjadi landasan bagi Weber untuk memasuki sosiologi hukum sebagai suatu pembicaraan hukum dalam realitas tatanan ekonomi. Oleh Weber hukum di konsepkan secara positivitis, yaitu sebagai sistem peraturan. Optik yuridis atau dogmatik hukum ini memikirkan tentang hukum sebagai bangunan peraturan yang memiliki koherensi logis, bebas dari kontradiksi internal. Yang dilakukan adalah mencari arti yang tepat dari peraturan yang berisi patokan bagi perilaku tertentu. Ia memeriksa apakah fakta sudah hukum secara tepat oleh peraturan. Optik yuridis tidak merisaukan validitas empirik dari peraturan hukum. Ideal dari tatanan hukum seperti itu tidak ada urusan  dan tidak ingin berurusan dengan kenyataan perilaku yang menjadi landasan tatanan ekonomi.

Pendapat yang diungkapkan oleh Max Weber adalah perlu di dalami keterkaitan antara hukum dan bidang-bidang lain di luar hukum, seperti ekonomi, politik kekuasaan, dan budaya. Sanksi-sanksi yang terdapat dalam kaidah hukum ini adalah baru dapat dijalankan apabila terdapat ketidak adilan dalam hubungan keperdataan orang per orang. Tipe solidaritas pada masyarakat ini adalah organic solidarity. 

3. Teori empiris

Donald Black bependapat teori empiris adalah hukum dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum. Dalam posisi seperti itu, yaitu seorang positivis-empirisis, Black harus membangun dari bawah dimulai dengan konsepnya mengenai hukum. Misalnya ia mengatakan, hukum dilihat dari persfektif kuantitatif menjadi lebih banyak atau lebih sedikit hukum. Lebih sering orang mengangkat telepon berarti lebih banyak hukum daripada sebaliknya. Pikiran dan pendekatan tersebut dipraktekkan lebih lanjut pada waktu Black membangun postulat yang diangkat dari pengamatan empirik.

Pendapat Black mengenai teori adalah, bahwa teori menjelaskan fakta itu saja yang boleh menjadi bahan penyusun prosposisi. Prosposisi menegaskan hubungan antara hukum dan aspek kemasyarakatan, yaitu Stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi atau kontrol sosial.

Berikut ini beberapa proposisi yang dibangun oleh Black berdasarkan pengamatan dan kuantifikasi data empirik:

a. Hukum akan lebih beraksi apabila seseorang dengan status tinggi memperkarakan orang lain dari status yang lebih rendah, daripada sebaliknya.
b. Hukum berbeda-beda menurut jarak sosial. Hukum makin berperan dalam masyarakat dengan tingkat keintiman yang lemah dibanding sebaliknya.
c. Apakah seorang polisi akanmelakukan penahanan ditentukan oleh banyak faktor, yaitu ras tersangka, berat ringanya kejadian, barang bukti yang didapat, sikap terhadap polisi dan lain-lain.
d. Jumlah peraturan bagi golongan dengan status tinggi lebih besar daripada bagi golongan lebih rendah.

Kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindra.
Pendapat yang lain mengenai teori empirik datang dari John Locke, beliau  berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai tabula rasa. Segenap data yang ditangkap pancaindra digambar di situ sebagaimana diungkapkannya sendiri: “Pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindra atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.” 

Ada dua aspek utama teori empiris. Yang pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Yang kedua adalah bahwa pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia. Pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik. Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Selain itu, kaum empiris juga mempergunakan prinsip keserupaan, yakni bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdadsarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu.  

Penjelasan yang diberikan oleh teori tersebut senantiasa dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, apakah itu berupa kondisi-kondisi soial ataupun histories. Teori-teori sosiologis hukum berangkat dari pengamatan yang mendalam terhadap fakta atau kenyataan yang dilihatnya.

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA OLEH Universal Community Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan. Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis selalu membuka diri untuk menerima saran dan masukan yang membangun guna perbaikan dalam hal penulisa

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND” OLEH UNIVERSAL COMMUNITY Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis sel

Rumah Adat Limbungan dan Masyarakatnya

Rumah Adat Limbungan merupakan salah satu rumah adat Sasak yang masih bertahan sampai saat ini. Rumah Adat Limbungan ini terletak di Dusun Limbungan Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah Adat Limbungan ini berdiri sejak ratusan tahun lalu, bahkan ketika zaman penjajahan Belanda rumah adat ini sudah lama eksis di tempat ini. Berdasarkan penuturan dari salah satu Tokoh Adat Limbungan menceritakan bahwa dahulu kala yang pertama kali datang ke tanah Limbungan adalah seorang Tokoh yang bernama Amaq Mandra. Amaq Mandra inilah yang memulai kehidupan di tempat berdirinya rumah adat ini atau masyarakat setempat menyebutnya sebagai Penjuluk yaitu yang terlebih dahulu datang. Selain itu, Amaq Mandra ini juga dahulunya merupakan Tunggal Penguasa yaitu satu-satunya penguasa di tanah Limbungan. Photo by : Universal Community Saat ini, Rumah Adat Limbungan masih kokoh berdiri dengan arsitektur yang tetap dipertahankan secara turun-temurun. Eksis