Skip to main content

Penyelesaian Sengketa Kehutanan

Photo by : Canva


Keberadaan hutan yang kaya dengan berbagai jenis makhluk hidup memiliki nilai yang tinggi bagi kehidupan manusia. Hal ini tidak hanya nilai yang berkaitan dengan keberadaan hutan sebagai penyedia oksigen di muka bumi akan tetapi juga nilai yang berkaitan dengan materi financial. Dengan demikian, keberadaan hutan menjadi salah satu bidang yang rentan akan munculnya berbagai permasalahan atau sengketa dibidang kehutanan tersebut. Oleh karena itulah kemudian aturan hukum Indonesia telah memberikan jalan untuk menyelesaikan masalah sengketa kehutanan.

Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 menyebutkan bahwa:
1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

2. sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

3. telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Pasal 74 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

1.   Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

2.   apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa.

Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan bahwa: “penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini”.

Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.

Dalam penjelasan umum undang-undang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti sanksi administrasi, dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana baik pengenaan ancaman pidana maupun proses perkara pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup merupakan “senjata terakhir” (ultimum remedium).

Berdasarkan penjelasan umum di atas, Koesnadi Hardjasumantri berpendapat bahwa penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai bila telah dilaksanakannya tindakan hukum tersebut di bawah ini:

1.   Aparat yang berwenang menjatuhkan sanksi administrasi sudah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi atau,

2.   Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme alternatif diluar pengadilan dalam bentuk musyawarah/perdamaian/ negosiasi/mediasi namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru kegiatan dapatdimulai/ instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup dapat digunakan.

Kedua syarat asas subsidiaritas dalam bentuk upaya tersebut di atas dapat dikesampingkan, apabila dipenuhi tiga syarat/kondisi tersebut di bawah ini:

1. tingkat kesalahan pelaku relatif berat,
2. akibat perbuatannya relatif besar,
3. perbuatan pelanggaran menimbulkan keresahan masyarakat

Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana dibidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.

Baca juga :

Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA OLEH Universal Community Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan. Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis selalu membuka diri untuk menerima saran dan masukan yang membangun guna perbaikan dalam hal penulisa

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND” OLEH UNIVERSAL COMMUNITY Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis sel

Teori Penyebab Kejahatan Dari Perspektif Sosiologis

Meningkatnya angka kejahatan dari waktu ke waktu menimbulkan pertanyaan besar mengenai penyebab dan cara menanggulangi kejahatan tersebut. Tidak hanya angka kejahatan yang terus meningkat, jenis atau bentuk kejahatan yang terjadi pun semakin beragama. Fenomena ini harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Baik itu perhatian dari pemerintah, perhatian dari para penegak hukum, perhatian dari para akademisi, dan terlebih lagi perhatain dari para mahasiswa fakultas hukum yang saat ini masih memperdalam ilmu dalam rangka enjadi generasi penerus estafet penegakan hukum di Negara ini.  Semakin kompleksnya kebutuhan dalam masyarakat menimbulkan berbagai cara yang ditempuh oleh masyarakat yang bersangkutan dalam rangka memenuhi kebutuhannya tersebut. Bagi masyrakat yang tidak bisa mengontrol dirinya tentu akan melakukan segala cara untuk memenuhi kebetuhan tersebut, baik itu cara yang dibolehkan maupun cara-cara yang dilarang oleh hukum. Kondisi yang sedemikian rupa memerlukan