Skip to main content

Asas-Asas Dalam Hukum Acara Pidana




Asas secara bahasa artinya dasar hukum, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi).



1. Asas Legalitas
Asas Legalitas dalam Hukum Acara Pidana adalah hal yang berbeda dengan Asas Legalitas dalam KUHP. Dalam KUHP asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dihukum tanpa adanya aturan yang mengatur sebelumnya. Namun dalam Hukum Acara Pidana asas legalitas dimaknai sebagai asas yang menyatakan bahwa setiap Penuntut Umum wajib menuntut setiap perkara. Artinya, legalitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa setiap perkara hanya dapat diproses di pengadilan setelah ada tuntutan dan gugatan terhadapnya.

Asas ini diatur dalam pasal 137 KUHAP yang berbunyi: “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”

Sedangkan Asas Oportunitas adalah asas yang menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki hak untuk menuntut atau tidak menuntut sebuah perkara. Kedua asas ini pada dasarnya bukanlah hal yang kontradiksi, karena Asas Legalitas berkenaan dengan Perkara yang akan diproses di pengadilan (legalitas terhadap perkaranya) sedangkan asas oportunitas berkenaan dengan hak penuntut umum. Apabila Penuntut Umum menggunakan haknya untuk menuntut di pengadilan maka perkara tersebut mendapatkan legalitasnya untuk diproses di pengadilan.

Menurut Sjachran Basah, Asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya konstitutif. Asas legalitas bukan saja harus tercantum dalam hukum pidana materiel, tetapi juga dalam hukum pidana formil, artinya tidak ada proses acara yang berjalan di luar jalur undang-undang yang berlaku. Seharusnya asas legalitas merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia, yang menghendaki adanya batasan terhadap penghukuman terhadap seseorang.

2. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang terdapat  KUHAP merupakan penjabaran dari undang-undang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Didalam KUHAP banyak digunakan istilah “segera” untuk menunjukkan asasa peradilan cepat.Istilah peradilan cepat ini sebelumnya sudah ada di dalam HIR,dengan kata-kata yang lebih konkret dibandingkan dengan yang terdapat dalam KUHAP.Jika di dalam KUHAP, biasanya menggunakan istilah “segera” untuk menunjukkan asas peradilan cepat .Didalam HIR biasanya menggunakan istilah “satu kali dua puluh empat jam (1 X 24 jam)” misalnya pada pasal 71 HIR, bahwa jika hulp magistraat melakukan penahanan,maka dalam waktu satu kali dua puluh empat jam memberitahu Jaksa. 

    Penjelasan mengenai asas peradilan cepat ini di dalam KUHAP dijabarkan di dalam banyak pasal antara lain sebagai berikut: 

a. Pasal-pasal 24 ayat (4),25 ayat (4),26 ayat (4),27 ayat (4), dan 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti tercantum dalam ayat sebelumnya,maka penyidik,penuntut umum,dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.Dengan sendirinya hal ini mendorong penyidik,penuntut umum,dan hakim untuk mempercepet penyelesaian perkara tersebut.

b. Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai pemeriksaan, ayat (1), segera perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, ayat (2) segera di adili oleh pengadilan ayat (3)

c. Pasal 102 ayat (1) mengatakan penyelidik yang meneriman laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

d. Pasal 106 mengatakan hal yang sama diatas bagi penyidik.
e. Pasal 107 ayat (3) mengatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a.

f. Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik semuanya diserati dengan kata segera. Begitu pula pasal 138.

g. Pasal 140 ayat (1) dikataka: “dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

Asas sederhana maksudnya pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Asas sederhana ini dijelaskan pada pasal 2 ayat (4) undang-undang Nomor 48 tahun 2009. 
Asas biaya ringan, asas ini juga diatur dalam pasal 2 ayat (4) undang-undang nomor 48 tahun 2009.Asas biaya ringan maksudnya biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.

Menurut Prof.Andi Hamzah
Beliau mengusulkan agar dalam perundang-undangan yang akan dating dihindari istilah “segera”,”dalam waktu yang sesingkat-singkatnya” dan semacamnya dan diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam (1 x24 jam),tiga kali dua puluh empat jam (3 x 24 jam ),tujuh hari (7 hari),dua bulan dan seterusnya.Karena istilah “satu kali dua puluh empat jam (1 x24 jam)” lebih pasti dibandingkan istilah “segera” .Sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu di wujudkan dalam praktik oleh penengak hukum hal ini untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim karena hal ini bagaian dari hak asasi manusia.

Menurut Lilik Mulyadi SH.MH.
Beliau mengatakan bahwa asas peradilan cepat dan sederhana dapat dilihat dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara. Adapun asas peradilan dengan biaya ringan khususnya dalam perkara pidana berorientasi pada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa yang dijatuhi pidana. Ditentukkan biaya perkara minimal rp.500 dan maksimal Rp.10.000 dengan penjelasan bahwa maksimal Rp.10.000 itu adalah Rp.75.000 bagi Pengadilan Tingkat Pertama dan Rp.20.000 bagi Pengadilan Tingkat Banding.

Menurut Sunaryo
Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan merupakan asas peradilan yang paling mendasar dari pelaksanaan dan pelayanan administrasi peradilan yang mengarah pada prinsip dan asas efektif dan efisien.

Asas secara bahasa artinya dasar hukum, dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir atau berpendapat, dasar cita-cita (perkumpulan atau organisasi). Sedangkan Sederhana secara bahasa artinya sedang (dalam arti pertengahan, tidak tinggi, tidak rendah). Sederhana mengacu pada “complicated” tidaknya penyelesaian perkara.  Maka asas sederhana artinya caranya yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit. Yang penting disini ialah agar para pihak dapat mengemukakan kehendaknya dengan jelas dan pasti (tidak berubah-ubah) dan penyelesaiannya dilakukan dengan jelas, terbuka runtut dan pasti, dengan penerapan hukum acara yang fleksibel demi kepentingan para pihak yang menghendaki acara yang sederhana.

Asas cepat secara bahasa artinya waktu singkat, dalam waktu singkat; segera, tidak banyak seluk beluknya (tidak banyak pernik). Cepat atau yang pantas mengacu pada “tempo” cepat atau lambatnya penyelesaian perkara. Asas cepat dalam proses peradilan disini artinya penyelesaian perkara memakan waktu tidak terlalu lama. Mahkamah Agung dalam surat edaran No. 1 tahun 1992 memberikan batasan waktu paling lama enam (6) bulan, artinya setiap perkara harus dapat diselesaikan dalam waktu enam (6) bulan sejak perkara itu didaftarkan di kepaniteraan, kecuali jika memang menurut ketentuan hukum tidak mungkin diselesaikan dalam waktu enam bulan. Namun demikian, penyelesaian yang cepat ini senantisa harus berjalan di atas aturan hukum yang benar, adil dan teliti.

Asas Biaya ringan dalam hal ini berarti tidak dibutuhkan biaya lain kecuali benar-benar diperlukan secara riil untuk penyelesaian perkara. Biaya harus ada tarif yang jelas dan seringan-ringannya. Segala pembayaran di pengadilan harus jelas kegunaanya dan diberi tanda terima uang. Pengadilan harus mempertanggung jawabkan uang tersebut kepada yang bersangkutan dengan mencatatkannya dalam jurnal keuangan perkara sehingga yang bersangkutan dapat melihatnya sewaktu-waktu.

Menurut pasal 121 HIR (1) penetapan biaya perkara dilakukan sesudah surat gugatan dibuat itu telah didaftarkan oleh panitera di dalam daftar yang disediakan untuk itu, maka ketua menentukan hari dan jam, waktu perkara itu akan diperikasa di muka pengadilan. Dalam pasal 121 (4) HIR menentukan “mendaftarkan dalam daftar seperti yang dimaksud dalam ayat pertama, tidak boleh dilakukan sebelum oleh penggugat ayat pertama, tidak boleh dilakukan sebelum oleh penggugat dibayar lebih dahulu kepada panitera sejumlah uang yang besarnya untuk sementara diperkirakan oleh Ketua Pengadilan Negeri menurut keadaan perkara, untuk ongkos kantor panitera, ongkos pemanggilan serta pemberitahuan yang diwajibkan kepada kedua pihak dan harga materai yang akan diperhitungkan. Jumlah yang dibayar lebih dahulu itu akan diperhitungkan kemudian”.

Dalam pasal 59 (1) Undang-undang No 5 tahun 1986 dikatakan bahwa untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh panitera Pengadilan”. Pasal 110 Undang-undang ini juga mengatakan, pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara. Yang termasuk dalam biaya perkara adalah biaya kepaniteraan dan biaya materai, biaya saksi, ahli dan ahli bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan, biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim ketua sidang (pasal 111 Undang-undang No 5 tahun 1986). Jumlah biaya perkara yang harus dibayar oleh penggugat dan tergugat disebut dalam amar putusan akhir pengadilan (pasal 112 Undang-undang No 5 tahun 1986).
Dasar asas sederhana, cepat, dan biaya ringan ini termuat dalam Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 4 ayat 2 yang berbunyi “Peradilan dilakukan dengan sedehana, murah dan cepat” dan pasal 5 ayat 2 berbunyi “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan juga terdapat dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989. Peradilan secara sederhana cepat dan biaya ringan tertuang dalam pasal 57 ayat 3, serta dalam pasal 58 ayat 2 yang berbunyi “Pengadilan membantu mengatasi segala hambatan serta rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan”.

3. Asas Praduga Tidak Bersalah
Suatu asas yang menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya itu. Dalam pemeriksaan perkara pada semua tingkatan pemeriksaan semua pihak harus menganggap bagaimanapun juga tersangka/ terdakwa maupun dalam menggunakan istilah sewaktu berdialog terdakwa.

Asas ini disebut dalam pasal 8 undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3c KUHAP yang berbunyi “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka sidangpengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

UUD 1945 secara tegas telah memberikan jaminan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 27 ayat (1). Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.

Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. ‘No man above the law’, artinya tidak keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek hukum, kalau ada subyek hukum yang memperoleh keistimewaan menempatkan subyek hukum tersebut berada diatas hukum.

Selain terdapat dalam KUHAP, asas ini juga terdapat dalam pasal 17 dan 18 undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam pasal 17 dan 18 undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini sedikit bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah. Berikut bunyi pasal 17 ayat (1) dan (4):

Pasal 17 ayat (1): “Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.”
Pasal 17 ayat (4): “Apabila terdakwa tidak member keterangan tentang pembentuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan member pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi.”
Pasal 18 ayat (1): “Setiap terdakwa wajib member keterangan tentang seluruh harta benda suami /istri, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh hakim.”
Pasal 18 ayat (2): “Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat di gunakan untuk memperkuat keterangan setiap saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.”

Berikut pendapat para ahli:

Menurut Prof Andi Hamzah
“Kedua pasal di atas menunjukkan dianutnya pembalikan beban pembuktianm karena penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan bahwa terdakwa telah korupsi. Dalam hal ini asas praduga tidak bersalah masih dianut hanya saja ketentuan tersebut mendesak asas praduga tidak bersalah hal ini untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah korupsi.”

Menurut Lilik Mulyadi SH.MH.
“Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat di uraikan lebih lanjut selama proses peradilan masih berjalan (PN, PT, dan MA) Dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat di kategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang.”

Menurut Menurut M. Yahya Harahap,
“Asas praduga tak bersalah di tinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “Prinsip Akusator “. Akusator menempatkan kedudukan tersangka / terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan. Oleh karena itu tersangka / terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukanmanusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa, maka kea rah itulah pemeriksaan ditujukan.”

4. Asas Oportunitas
Asas oportunitas adalah asas yang memberikan kewenangan kepada penuntut umum selaku dominus litis untuk melakukan penuntutan atau tidak melakukan penuntutan yang didasarkan demi kepentingan umum. Dominus litis berasal dari kata dominus yang dalam bahasa latin berarti pemilik. Jadi dominus litis tidak ad Abadan lain yang boleh melakukan penuntutan kecuali penuntut umum.
Asas ini dinyatakan dianut di Indonesia yang dapat dilihat pada pasal 35 c undang-undabg bo.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 

Menurut ketentuan Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 KUHAP, dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pegadilan yang disebut dengan penunutut umum (jaksa). Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Ini disebut dengan dominus litis ditangan penuntut umum atau jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin, yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya, jadi hakim hanya menunggu saja penuntutan dari penuntut umum.

Di Indonesia, asas ini juga diatur dalam ketentuan Pasal 32 C Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan yang secara tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal tersebut menyatakan bahwa “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum.” Jadi asas oportunitas merupakan asas dimana penuntut umum (Jaksa Agung) tidak harus menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.

Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi.

Menurut Zainal Abidin Farid
yang dimaksud dengan asas oportunitas adalah asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Menurut Prof.Andi hamzah
Dengan berlakunya UUD 1945 maka jaksa agung mempertanggung jawabkan pelaksanaan wewenang oportunitas kepada priseden,yang pada gilirannya presiden mempertanggung jawabkan pula kepada rakyat.

Menurut Supomo
Di negeri Belanda maupun di Hindia Belanda berlakunya asas oportunitas dalam hal penuntutan pidana artinya badan penuntut umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan,jika tuntutan itu dianggap tidak “opportuun” atau tidaka demi kepentingan masyarakat.

5. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum maksudnya hakim sebelum memulai persidangan menyatakan siding terbuka dan di buka untuk umum. Namun “pemeriksaan pengadilan“ yaitu pemeriksaan pendahuluan,penyidikan,dan praperadilan tidkak terbuka untuk umum.Dan hal-hal lain yang diatur oleh undang-undang dinyatakan tidak terbuka untuk umum misalnya dalam perkara atau kasus kesusilaan yang terdakwanya adalah anak dibawah umur dan kasus kesusilaan dinyatakan tertutup untuk umum.

Hal ini diatur salah satunya dalam pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi:
Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka siding dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. ayat (3)
Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. ayat (4)

Jika hakim tidak menyatakan dalam persidangan dan putusannya terbuka dan di buka untuk umum hal ini akan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Namun ada pertayaan yaitu bagaiman jika hakim menyatakan siding tertutup untuk umum demi menjaga rahasia ?Menurut undang-undang Kekuasaan Kehakiman hal itu diperbolehkan sebagaimana diatur dalam pasal 19 namun di dalam KUHAP hal itu akan mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Menurut Prof.Andi Hamzah
Seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukkan sesuai dengan situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum.

Menurut Lilik Mulyadi SH.MH.
Keterbukaan dari suatu proses peradilan (open baarheid van het proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan.

6. Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap
Asas ini berarti bahwa pengambilan keputusan mengenai salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Hakim-hakim diangkat yang ditetapkan oleh kepala Negara.Hal ini dicantumkan dalam undang-undang kekuasaan kehakiman pasal 31.

Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Asas ini diatur dalam pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): hakim adalah pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 31 UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman): Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Menurut Prof Andi Hamzah, untuk menentukkan salah tidaknya terdakwa ada juga system lain, system ini disebut system juri yaitu system yang menentukkan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam tentang ilmu hukum.

7. Asas Tersangak Atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
Asas ini telah menjadi ketentuan universal di Negara –negara demokrasi dan beradab.hal ini tercantum dalam The International Covenant an civil and political Rights article 14 sub 3d yang menyatakan bahwa kepada tersangak atau terdakwa diberikan jaminan yang artinya diadili dengan kehadiran terdakwa,membela diri sendiri,secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihanya sendiri,diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk penasihat hukum untuk dia untuk kepentingan peradilan jika dianggap perlu untuk itu,dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum,ia dibebaskan dari pembayaran. Selain tercantum dalam ketentuan universal asas ini juga ditegaskan dalam KUHAP.Tepatnya pada pasal 69 sampai dengan pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum dimana tersangka atau terdakwa mendapatkan yang sangat luas. Tulis pasal 69-74 KUHAP

Menurut Prof Andi Hamzah, pembatasan hanya berlaku jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya. Kebebasan-kebebasan atau kelonggaran-kelonggaran yang dimaksud ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial,dan ekonomis.Karena segi-segi politis,sosial dan ekonomis menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata.

Menurut Adnan Buyung Nasution, setiap periode sejarah dengan system politiknya tersendiri, telah banyak memberikan pengaruh atas maslah ini. Persoalanya bertambah rumit apabila kita melihat dari sudut pandang ekonomis, disebabkan oleh kemiskinan yang merembes luas,tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang buruk.

Asas ini juga ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP dengan redaksional bahwa: “Setiap org yg tersangkut perkara wajib diberikan kesempatan memperoleh bantuan hk yang semata-mata diberikan utk melaksanakan, kepentingan pembelaan atas dirinya.”
Dlam bab V11 pasal 37 uu no 14 1970 mengatakan Setiap orang yg tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

8. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusatoir dan Inquisitoir)
a. Asas Accusatoir
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum. Asas accusatoir menunjukan bahwa seorang terdakwa yang diperiksa dalam sidang pengadilan bukan lagi sebagai objek pemeriksaan. Melainkan sebagai subjek. Asas accusatoir telah memperlihatkan suatu pemeriksaan terbuka, dimana setiap orang dapat menghadiri dan menyaksikan jalannya pemeriksaan. Terdakwa mempunyai hak yang sama nilainya dengan penuntut umum, sedangkan hakim berada di atas kedua belah pihak untuk menyelesaikan perkara pidana menurut hukum pidana yang berlaku. Sebagai realisasi prinsip accusatoir di pengadilan terlihat. Terdakwa bebas berkata-kata. Bersikap sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa diam tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Adanya penasihat hukum yang mendampingi terdakwa untuk membela hak-haknya. Selain itu, terdakwa bebas mencabut pengakuan-pengakuan yang pernah ia kemukakan di luar sidang dan ini dapat dikabulkan sepanjang hal itu logis dan beralasan.

Asas ini tersurat dalam KUHAP yaitu pada Pasal 52, Pasal 55, Pasal 65 karena kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator (accusatoir). 

b. Sistem Inquisitoir dan Accusatoir
Dalam membuktikan adanya tindak pidana Negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melakukan pemeriksaan terhadap tersangka yang diduga terlibat/ikut dalam tindak pidana tersebut. Pemeriksaan dalam tindak pidana ada dua sistem yaitu:

I. Sistem Inquisitoir
Mengenai system inquisitoir Mr. wirjono Prodjodikoro mengemukakan sebagai berikut:
Sistem inquisitoir (arti kata= pemeriksaan) mengaanggap si tersangka suatu barang, suatu objek, yang harus diperiksa berhubung dengan suatu pendakwaan. Pemeriksaan seperti ini berupa pendengaran si tersangka tentang dirinya pribadi. Sedang S. Tarif, SH mengenai Iquisitoir mengemukakan sebagai berikut: Tersangka dianggap sebagai objek yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini berupa pendengaran, keterangan-keterangan tersangka tentang dirinya, dan biasanya pemeriksa sudah a-priori berkeyakinan bahwa kesalahannya tersangka, sehingga sering terjadi paksaan terhadap tersangka untuk mengaku kesalahannya sehingga kadang-kadang dilakukanya penganiyaan.

Menurut Abdurrahman SH sistem inquisitoir adalah Suatu system pemeriksaan yang memandang seseorang tertuduh sebagai objek dalam pemeriksaan yang berhadapan dengan para pemeriksa dengan kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tertutup. Dengan melihat beberapa pendapat, dapat disimpulkan sebagai berikut: Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena dalam system inquisitoir tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Para petugas pemeriksa atau pendakwa biasanya mendorong atau memaksa tersangka untuk mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahakan seringkali dengan penganiayaan. Bersifat rahasia atau tertutup, ini berarti bahwa pemeriksaan pidana dengan menggunakan system inquisitoir khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum berkenan mengetahui atau mendampingi si tersangka. Tersangka belum boleh menghubungi penasihat hukumnya.Penguasa bersifat aktif sedangkan tersangka pasif.

II. Sistem Accusatoir
Prof Mr. Dr. L.J Van Apeldoorn mengemukakan sebagai berikut: Sifat accusatoir dari acara pidana yang dimaksud adalah prinsip dalam acara pidana, pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai pihak yang sama haknya, yang melakukan pertarungan hukum (rectsstrijd) di muka hakim yang hendak memihak; kebalikannya ialah asas “inquisitoir” dalam mana hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri bertindak sebagai orang yang mendakwa, jadi dalam mana tugas orang yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan dalam satu orang. Dalam Hukum Acara Pidana, akan dapat ditentukan azas tersurat (tertulis) dan azas tersirat (tidak tertulis) dari kedua system di atas, yaitu Inquisitoir dan Accusatoir.

9. Asas pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan
Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan, artinya buka tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP dan seterusnya.

Yang dipandang pengecualian dari asas langsung ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia. Tetapi ini hannya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara lalu lintas jalan (Pasal 213 KUHAP).  Dalam hukum acara pidana khusus seperti halnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia. 

10. Asas hak ingkar
Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Yang dimaksud dengan hak ingkar adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alas an terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.

Sesungguhnya tanpa harus menunggu permohonan hak ingkar dari pihak yang berperkara maupun dari ketua pengadilan, hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipuntelah bercerai. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin peradilan yang obyektif dan tidak memihak.

Apabila diketahui hakim yang akan menyidangkan terkait hubungan-hubungan sebagai mana tersebut di atas dengan pihak-pihak yang berperkara dan tidak mengundurkan diri, maka Ketua Pengadilan Agama harus memerintahkan hakim tersebut untuk mundur. Apabila hakim tersebut adalah ketua pengadilan sendiri, maka perintah pengunduran dilakukan oleh Ketua Pengadilan Tingkat Banding, apabila hakim yang seharusnya mengundurkan diri masih tetap melakukan pemeriksaan dan sampai pada putusan, maka perkara harus segera diperiksa dan diputus ulang dengan susunan majelis yang berbeda, dan putusan yang telah terlanjur diucapkan menjadi batal demi hukum.

11. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara laingsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.  Ini berbeda dengan acara perdata di mana tergugat dapat diwakilkan oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa.

Pemeriksaan Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum Pasal 53 (3) KUHAP berbunyi: ”Untuk keperluan pemeriksaan hakim Ketua Sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan dan terdakwanya anak-anak (pengadilan anak).

Dalam hal ketentuan ini tidak dipenuhi menyebabkan putusan batal demi hukum. Bahkan dalam pasal 195 KUHAP berbunyi: ”Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Dengan demikian berarti dalam perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak pun, putusannya diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Yang dipandang pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa yaitu putusan verstek atau in absentia. Akan tetapi harus diingat bahwa ini hanyalah pengecualian yaitu dalam perkara pelanggaran lalu lintas.

12. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitas
a. Ganti Kerugian
Menurut Pasal 1 angka 22 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang menyatakan bahwa “Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Selanjutnya dalam Pasal 95 mengatur mengenai ganti kerugian dalam ayat-ayat berikut:

(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) untutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.

(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.

Kemudian dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) mengatur:
(1) Putusan pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut.

b. Rehabilitasi Ganti Rugi
Pasal 1 angka 23 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mengatakan bahwa “Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.”

Selanjutnya dalam Pasal 97 mengatur rehabilitasi sebagai berikut :

(1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat.(1). 

(3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.


Baca juga :


Comments

Popular posts from this blog

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA

MAKALAH HUKUM TATA NEGARA OLEH Universal Community Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan. Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis selalu membuka diri untuk menerima saran dan masukan yang membangun guna perbaikan dalam hal penulisa

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND”

MAKALAH PERBANDINGAN HUKUM PIDANA “PENGATURAN TENTANG PERCOBAAN (POEGING DELICTEN) DALAM KUHP INDONESIA DAN KUHP THAILAND” OLEH UNIVERSAL COMMUNITY Kata Pengantar Puji syukur kami pajatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat sehat dan sempat sehingga penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini. Salawat serta salam tidak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan alam nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membimbing manusia dari alam kejahilan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat sekarang ini. Ucapan terimakasih tidak lupa juga penulis sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan materi dan tugas penulisan makalah sehingga penulis bisa mengerti tentang materi dari mata kuliah yang diajarkan Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi materi yang dimuat. Oleh karena itu, penulis sel

Rumah Adat Limbungan dan Masyarakatnya

Rumah Adat Limbungan merupakan salah satu rumah adat Sasak yang masih bertahan sampai saat ini. Rumah Adat Limbungan ini terletak di Dusun Limbungan Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Rumah Adat Limbungan ini berdiri sejak ratusan tahun lalu, bahkan ketika zaman penjajahan Belanda rumah adat ini sudah lama eksis di tempat ini. Berdasarkan penuturan dari salah satu Tokoh Adat Limbungan menceritakan bahwa dahulu kala yang pertama kali datang ke tanah Limbungan adalah seorang Tokoh yang bernama Amaq Mandra. Amaq Mandra inilah yang memulai kehidupan di tempat berdirinya rumah adat ini atau masyarakat setempat menyebutnya sebagai Penjuluk yaitu yang terlebih dahulu datang. Selain itu, Amaq Mandra ini juga dahulunya merupakan Tunggal Penguasa yaitu satu-satunya penguasa di tanah Limbungan. Photo by : Universal Community Saat ini, Rumah Adat Limbungan masih kokoh berdiri dengan arsitektur yang tetap dipertahankan secara turun-temurun. Eksis